Di semester 2 kemarin, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti kuliah tambahan yang diadakan oleh Osaka University. Sebenarnya kegiatan ini merupakan student exchange program dalam rangka ulang tahun ke 90 Osaka University, tapi karena pandemi maka acaranya diadakan serba online. Saya memilih untuk mengikuti course halal science karena menurut saya menarik banget nih, tumben sebuah universitas di Jepang membahas topik "minoritas". Selain itu saya mikirnya pingin belajar hal lain aja yang nggak berhubungan dengan perkuliahan sekarang, apalagi halal ini kan urusan super penting juga sebagai seorang Muslim. Perkuliahan dari Osaka Universitas ini terdiri dari 8 kuliah dan 1 kelas diskusi yang disampaikan oleh dua sensei Jepang plus satu dosen asal Pakistan (kayaknya hehe). Tulisan di bawah adalah rangkuman dari beberapa poin yang saya tulis sebagai bahan laporan selama perkuliahan berlangsung. Semoga bermanfaat ya!
Halal Science atau sains halal , menurut saya, adalah ilmu yang menggabungkan konsep halal dalam Islam dengan dukungan dari ilmu sains sebagai dasar atau landasan dalam mengambil keputusan. Contohnya babi dalam Islam dilarang, padahal turunan dari babi banyak sekali digunakan dalam industri pangan, obat, dan juga kosmetik. Nah bagaimana kita dapat membuktikan atau memastikan bahwa kandungan babi tersebut tidak terdapat dalam objek yang kita tes? Disini diperlukan teknologi sains yang dapat membuktikan kandungannya. Karena itu ketika kita mempelajari halal science, kita tidak hanya belajar ilmu syari dan fiqih tapi juga ilmu sains seperti biokimia, ilmu pangan, kesehatan, bahkan juga social science.
Cakupan industri halal sangat luas, tidak hanya tentang makanan minuman, tapi juga farmasi, kosmetik, produk kesehatan, pariwisata, teknologi kesehatan, teknologi deteksi, dan sebagainya. Beberapa isu atau tantangan yang dihadapi industri halal dapat dilihat dari beberapa screenshoot materi para sensei di bawah ini.
Salah satu hal menarik yang sempat disebut adalah produksi daging tanpa melalui proses penyembelihan, jadi daging yang dihasilkan merupakan hasil kultur di lab. MasyaAllah, bahkan daging pun sekarang sudah bisa diproduksi di lab kayak kultur bakteri maupun tumbuhan! Saya cukup penasaran sebenarnya apakah umat Islam boleh memakan daging ini meski tanpa proses penyembelihan? Saya nyoba googling dan kayaknya belum ada diskusi tentang ini. Tapi menurut Quamrul Hasan Sensei, daging lab bisa jadi halal bagi muslim asalkan produksinya tidak menggunakan bahan-bahan yang dilarang dalam Islam.
Lalu disebutkan juga mengenai plant based vaccination factory, atau vaksin yang diperbanyak dengan menggunakan tanaman. Disebutkan bahwa memproduksi vaksin menggunakan tanaman lebih murah dan dapat menyederhanakan proses (nggak perlu ribet-ribet bikin kultur atau fermentasi yang mungkin terkontaminasi produk tidak halal) dibandingkan dengan produksi vaksin tradisional.
|
Kalau mau baca lebih detil lagi bisa mengunjungi web ini |
Selain itu dibahas juga mengenai alat pendeteksi seperti biosensor untuk mendeteksi bahan-bahan haram di suatu produk. Di perkuliahan salah satu sensei menjelaskan berbagai macam teknologi deteksi dari yang mulai sederhana seperti deteksi kit yang sangat mudah digunakan sampai teknik PCR yang susah.Menurut saya ketersediaan teknologi terkini untuk mendukung industri halal dan juga orang-orang yang ahli di bidang ini sangat dibutuhkan di Indonesia. Indonesia perlu mulai membuka jurusan ilmu halal di perguruan tinggi untuk menciptakan generasi muda yang berilmu dan mampu di bidang industri halal misalnya dengan menjadi asesor halal atau ahli di bidang teknologi halal. Kita bisa mencontoh Malaysia yang sudah memiliki jurusan halal science di perguruan tinggi. (update: saya barusan cek di google ternyata pada tahun 2020 IAIN Salatiga katanya mau buka jurusan halal science). Karena selama kita tidak dapat berinovasi di bidang halal sendiri, maka selamanya kita akan menjadi konsumen saja, tidak akan pernah menjadi leader di bidang ini. Lucu kan kalau yang nemuin teknologi mesti negara-negara dengan minoritas Islam,padahal yang butuh kita umat Muslim sendiri. Selain isu teknologi ini, isu lain yang perlu kita pikirkan adalah menemukan alternatif bahan halal yang dapat menggantikan bahan-bahan yang mungkin haram yang masih banyak ditemukan dalam proses produksi suatu produk. Hasan Sensei menyebutkan bahwa Jepang sedang mengembangkan bahan yang berpotensi menggantikan bahan haram seperti sisik ikan untuk gelatin dan bahan HPMC dari tumbuhan untuk kapsul obat. Saya percaya sebenernya Indonesia punya banyak sumber daya potensial, tapi masalahnya apakah ada riset-riset yang memang mendalami isu ini.
Terus ada hal yang bikin saya penasaran banget. Waktu kuliah Hasan Sensei nunjukin beberapa slide yang berisi perbandingan standar kadar alkohol yang diperbolehkan di jenis produk tertentu di beberapa negara. Kenapa tiap negara memiliki standar yang berbeda ya ketika menentukan kandungan alkohol yang diizinkan dalam produk? Apakah tidak ada standar atau acuan apa yang digunakan untuk menentukannya atau memang tergantung interpretasinya...?
Dikatakan dalam kuliah tersebut bahwa pada tahun 2050 Muslim akan menjadi 30% dari populasi dunia dan ada 62% dari populasi Muslim di Asia Tenggara dan Asia sendiri. Sungguh jumlah yang sangat besar dan dapat menjadi pasar potensial yang baik bagi industri halal Namun, dalam kuliah tersebut ditunjukkan bahwa populasi Muslim yang besar tidak sebanding dengan daya beli yang tinggi karena berdasarkan data yang diberikan 10 negara dengan pembelian tertinggi berasal dari negara-negara Timur Tengah kemudian diikuti oleh Rusia, Prancis, dan AS.
Berdasarkan laporan State of the Global Islamic Economy 2019 yang diproduksi oleh DinarStandard.1,8 miliar konsumen Muslim dunia menghabiskan sekitar US$2,2 triliun pada 2018 di berbagai sektor ekonomi halal dan diproyeksikan bernilai US$3,2 triliun pada 2024. Indonesia sendiri menempati urutan pertama pengeluaran makanan halal terbanyak, yakni sebesar 173 miliar dolar AS pada 2018. Namun, Indonesia tidak masuk dalam lima besar negara dengan ekspor terbanyak ke anggota Organisasi Kerjasama Islam, dengan urutan teratas. lima adalah Brasil, Australia, Sudan, Bangladesh dan Turki. Data-data ini menunjukkan bahwa ada gap, antara potensi yang dimiliki umat Islam dengan kondisi real di lapangan. Hal ini juga semakin menegaskan bahwa kita masih sebatas konsumen saja, bukan produsen di insutri halal yang potensinya luar biasa besar.
Yang terakhir yang mau saya bahas adalah sebaiknya sertifikasi halal difasilitasi baik dari segi proses administrasi maupun biaya sehingga pelaku usaha baik dalam negeri maupun luar negeri dapat terbantu dalam memenuhi kebutuhan pasar akan produk halal. Saya mendengar bahwa banyak bisnis memilih untuk tidak mengurus sertifikat halal mereka karena biaya tinggi. Menurut saya pribadi, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memastikan semua produk yang dikonsumsi masyarakat halal dan seharusnya pemerintah tidak memungut biaya apapun untuk proses tersebut.
Kita sebagai muslim memang seharusnya lebih waspada dengan bahan-bahan yang kita konsumsi atau pakai, karena di Indonesia mayoritas muslim, jadi semua menganggap pasti sudah halal, padahal kan belum tentu
ReplyDeleteDi negara yang minoritas muslim aja peduli dengan produk-produk yang halal, harusnya kita juga lebih peduli lagi ya
Betul sekali kak. Seharusnya pemerintah nembuat regulasi yang lebih standar dan memudahkan pelaku usaha sehingga tidak ada yang dirugikan baik produsen maupun konsumen.
Delete